PENYIMPANGAN – PENYIMPANGAN DEMOKRASI DARI DEMOKRASI PARLEMENTER HINGGA MASA REFORMASI.
1. Demokrasi Parlementer (1945-1959)
Penyimpangan-penyimpangan yang terjadi pada demokrasi Parlementer antara lain :
a. Kehidupan politik dan pemerintahan tidak stabil, sehingga program pembangunan dari suatu pemerintahan tidak dapat dilaksanakan dengan baik dan berkeseimbangan.
b. Sering bergantinya pemerintahan yang bertugas sebagai pelaksana pemerintahan
c. Program pembangunan dan pemerintahan tidak dapat dilaksanakan dengan baik atau berkesinambungan.
d. Kedudukan Negara berada dibawah DPR dan keberadaanya sangat bergantung dengan dukungan DPR.
e. Terjadinya gerakan-gerakan separatis di bebagai region di Indonesia, misalnya: DI/TII Kartosoewiryo, pemberontakan Andi Aziz, pemberontakan Kahar Muzzakar, terbentuknya Dewan Banteng, Dewan Gadjah, dll.
f. Pemerintahan parlementer tidak bisa stabil sebab senatiasa dicoba untuk dijatuhkan oleh DPR dan akhirnya bubar, oleh sebab itulah banyak Kabinet yang terbentuk hanya memiliki masa pemerintahan yang relatif singkat, misalnya hanya 2 tahun, bahkan kurang dari 1 tahun.
2. Demokrasi Terpimpin (1959-1965)
Penyimpangan-penyimpangan pada masa demokrasi terpimpin antara lain :
a. Pada tahun 1960 Presiden dengan penetapan Presiden membubarkan DPR hasil pemilu pertama karena menolak untuk menyetujui RAPBN yang diajukan Presiden.
b. Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara telah mengangkat Ir. Soekarno sebagai Presiden seumur hidup. Hal ini jelas bertentangan dengan UUD 45 Bab III pasal 7.
c. Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Ketua Dewan Perwakilan rakyat Gotong Royong diangkat sebagai menteri. Tindakan ini bertentangan dengan UUD 45, sebab kedudukan DPR selaku lembaga legislatif sejajar dengan kedudukan Presiden selaku eksekutif. Dengan diangkatnya Ketua MPRS dan DPRGR sebagai menteri, di mana dalam UUD 45 dinyatakan bahwa kedudukan menteri adalah sebagai pembantu Presiden, maka tindakan tersebut secara terang-terangan telah merendahkan martabat lembaga legislatif.
d. Membuat Poros Jakarta Peking Pyong Yang, jelas menyimpang dari Politik Luar Negeri RI yang bebas aktif.
3. Demokrasi Pancasila Era Orde Baru (1965-1998)
Penyimpangan-penyimpangan yang terjadi pada demokrasi pancasila era Orde baru antara lain :
a. Penyelenggaraan pemilu yang tidak jujur dan tidak adil
b. Pengekangan kebebasan berpolitik bagi pegewai negri sipil (PNS)
c. Kekuasaan kehakiman (yudikatif) yang tidak mandiri / tidak independen karena para hakim adalah anggota PNS Departemen Kehakiman.
d. Kurangnya jaminan kebebasan mengemukakan pendapat
e. Sistem kepartaian yang tidak otonomi dan berat sebelah
f. Maraknya praktik kolusi, korupsi dan nepotisme diberbagai bidang,
g. Menteri-menteri dan gubernur diangkat menjadi anggota MPR
h. Organisasi sosial dipegang/dipangku oleh pejabat birokrasi
4. Demokrasi pada Era Reformasi (1998-sekarang)
Penyimpangan-penyimpangan yang terjadi pada demokrasi era reformasi antara lain :
a. Sengketa politik dan berdampak pada ketidaktenangan dan ketidakpastian akan stabilitas kehidupan berbangsa dan bernegara.
b. Semakin banyaknya tindakan-tindakan yang merugikan masyarakat, seperti kasus korupsi semakin marak.
c. Semakin banyaknya tindakan kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia.
d. kekerasan dan pelanggaran hak azasi manusia semakin terbuka
e. Kemerosotan atau menurunnya pendidikan moral bangsa Indonesia, hal tersebut dikarenakan kebebasan dibuka lebar tanpa mengimbangi dengan adanya pengawasan.
Penyimpangan demokrasi pada masa orde lama orde baru dan reformasi
Penyimpangan pada masa orde lama
Setelah Indonesia kembali ke UUD 1945, presiden Soekarno, menerapkan konsep kepemimpinan yang disebutnya sebagai demokrasi terpimpin. Menurutnya, demokrasi terpimpin adalah demokrasi khas Indonesia yang diarahkan ke “hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”. Namun, dalam pelaksanaannya, demokrasi terpimpin lebih banyak diwarnai kepentingkan dan ambisi politik sehingga arahnya menjadi melenceng dari konstitusi.
Jalannya pemerintahan serta aktivitas berbangsa dan bernegara bahkan kemudian tidak menunjukkan sifat-sifat demokrasi yang memperhatikan aspirasi dan kepentingan rakyat. Demokrasi tersisih oleh keotoriteran. Kepemimpinan demokratis yang menyertakan partisipasi rakyat digantikan oleh kepemimpinan sewenang-wenang yang menonjolkan kiprah pribadi dan kelompok.
Bermula dari keluarnya dekrit presiden 5 Juli 1959, kecenderungan Presiden Soekarno untuk membuat gebrakan-gebrakan yang melenceng terus berlanjut. Setelah dekrit yang controversial itu, dia kemudian membuat kebijakan dengan mengeluarkan produk hukum lain yang dia beri nama penetapan presiden (disingkat penpres). Penpres ini merupakan keputusan presiden yang oleh presiden sendiri secara sepihak diberi kedudukan dan kekuatan yang sama dengan UU (undang-undang) atau bahkan lebih besar lagi. Padahal, penpres sepenuhnya dibuat oleh presiden dan sama sekali tanpa persetujuan DPR.
Permulaan yang sudah menyimpang tersebut , dalam praktik selanjutnya menghasilkan penyimpangan-penyimpangan lanjutan yang kian diluar batas. Penpres digunakan Presiden Soekarno untuk mengatur hal-hal yang bukan menjadi wewenangnya dan bahkan berkedudukan di atas dirinya. Misalnya, penpres dikeluarkan presiden untuk membentuk MPRS dan menentukan GBHN.
Praktik hal-hal penting dan mendasar yang menyangkut penyelenggaraan negara saat itu hampir semua diatur oleh penpres. Dan hal ini dilakukan presiden tidak lepas dai tujuan negara agar penyelenggaraan negara secara umum dapat memperkuat dan menguntungkan kekuasaannya.
Beberapa contoh penpres yang dikeluarkan Presiden Soekarno adalah :
1. Penpres No. 2 Tahun 1959 dikeluarkan presiden untuk membentuk MPRS (majelis permusyawaratan rakyat sementara).
2. Penpres No 7 Tahun 1959 dikeluarkan untuk membubarkan partai politik.
3. Penpres No 1 Tahun 1960 dikeluarkan untuk menetapkan pidato presiden tanggal 17 Agutus 1945 yang berjudul “ Penemuan Kembali Revolusi Kita” (Manifesto Politik Republik Indonesia) sebagai GBHN.
4. Penpres No 3 Tahun 1960 dikeluarkan untuk membubarkan DPR hasil pemilu tahun 1955.
5. Penpres No 4 Tahun 1960 dikeluarkan untuk membentuk DPR-GR (Gotong Royong) sebagai pengganti DPR yang dibubarkan.
Dengan demikian , pada prakteknya , penpres yang hanya berupa keputusan presiden itu boleh dikatakan memiliki kedudukan dan kekuatan diatas semua peraturan perundang-undangan yang lain serta hampir menyaingi UUD 1945. Dengan keadaan seperti itu, maka sekaligus tindakan presiden dengan penpresnya tersebut sudah merupakan suatu penyimpangan terlalu jauh terhadap UUD 1945. Hal ini sudah berarti sangat bertentangan dengan semangat proklamasi kemerdekaan serta melenceng dari tujuan kembali ke UUD 1945 yang diamanatkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
Lembaga tertinggi negara dan tinggi negara, seperti MPRS dan DPR-GR, yang dibentuk dengan penpres sendiri akhirnya juga tertular virus penyimpangan yang dilakukan presiden. Keputusan-keputusan yang dilakukan lembaga itu juga banyak menyimpang dari ketentuan UUD 1945. Keputusan-keputusan yang dikeluarkannya bukan untuk memperjuangkan kepentingan rakyat , bangsa , dan negara, melainkan cenderung untuk memperkuat kedudukan presiden. Berikut ini adalah beberapa contoh hal dan keputusan yang menyimpang tersebut :
1. Ketetapan MRPS No. I/MPRS/1960, MPRS menetapkan/mengukuhkan Manipol (yang tidak lain merupakan hasil pemikiran pribadi Presiden Soekarno) sebagai GBHN.
2. Ketetapan MPRS No. III/MPRS/1963, MPRS mengangkat Soekarno menjadi presiden seumur hidup.
MPRS, DPRGR, dan DPAS, selain pembentukannya dilakukan dengan penpres, pemilihan para anggotanya pun ditunjuk presiden. Hal itu sekaligus menunjukkan begitu besar dan terpusatnya kekuasaan di satu tangan , yakni di tangan presiden. Keadaan tersebut memperlihatkan bahwa presiden telah menjadi seorang dictator.
Karena itu, keadaannya menjadi tumpang-tindih dan terbalik-balik. Presiden yang seharusnya berada di bawah MPR, dapat menundukkan dan mengatasi MPR. DPR yang seharusnya sejajar dengan presiden sebagai mitra, nasibnya juga sama seperti MPR. Selain itu, ketua dan wakil ketua MPR dan DPR juga dijadikan menteri di jajaran cabinet.
Orde lama dan Presiden Soekarno sendiri jatuh oleh tekanan keadaan dan tuntutan rakyat. Kepemimpinan mereka yang banyak menyimpang mnimbulkan ketidakstabilan politik, hukum, ekonomi, dan sosial serta memunculkan rongrongan dan pemberontakan oleh pihak-pihak tertentu yang tidak bertanggung jawab. Hal ini memancing emosi banyak kalangan (terutama mahasiswa dan pelajar), sehingga secara umum kemudian muncul tuntutan kepada Presiden Soekarno dan Orde Lama untuk mundur dari kekuasaan.
Penyimpangan pada masa reformasi
1. Kebebasan beragama tidak dapat dijamin oleh negara ;
2. Lembaga Negara dibidang peradilan dan penegakan hukum dapat diintervensi oleh perorangan dan
para pelanggar hukum ;
3. Kekayaan negara tidak sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat ;
4. Sistem perekonomian negara tidak pro rakyat tetapi dikuasai oleh investor asing maupun domestik
5. Setiap warganegara berhak mendapat pendidikan belum sepenuhnya dijalankan oleh negara ;
6. Orang miskin dan anak-anak terlantar belum sepenuhnya dipelihara oleh negara ;
7. Gaji dan tunjangan para pejabat negara sangat tinggi sedangkan gaji pegawai rendahan dan
pensiunan masih dibawah standar kebutuhan hidup manusia yang selayaknya ;
8. Keadilan negara terhadap warganya masih rendah dan tidak manusiawi.
9. Harga2 bahan kebutuhan pokok sangat mahal dan mencekik kehidupan rakyat kecil
inti inti dari penyimpangan dari masa orde lama orde baru sampai reformasi adalah :
Telah terjadi banyak penyimpangan terhadap UUD 1945 sejak ditetapkannya sampai era Reformasi.Penyimpangan-penyimpangan tersebut antara lain:
Terjadinya perubahan sistem pemerintahan dari kabinet presidensil menjadi Parlementer
Presiden membubarkan DPR hasil pemilihan umum 1955
Pimpinan lembaga tinggi negara diangkat sebagai menteri negara
MPR mengangkat Soekarno menjadi Presiden seumur hidup
Kekuasaan Presiden tidak terbatas
Pada era reformasijuga terjadi penyimpangan yaitu pemerintahan soeharto sangat centralistik dan birokratis,serta membatasi hak hak politik masyarakat dengan alasan kestabilitas keamanan.
Sedangkan, bentuk-bentuk penyimpangan UUD 1945 pada masa Orde Baru meliputi, antara lain:
1. Terjadi pemusatan di tangan Presiden, sehingga pemerintahan dijalankan secara otoriter.
2. Berbagai lembaga kenegaraan tidak berfungsi sebagaimana mestinya, hanya melayani keinginan pemerintah (Presiden).
3. Pemilu dilaksanakan secara tidak demokratis, pemilu hanya menjadi sarana untuk mengukuhkan kekuasaan Presiden, sehingga Presiden terus menerus dipilih kembali.
4. Terjadi monopoli penafsiran Pancasila, ditafsirkan sesuai keinginan pemerintah untuk membenarkan tindakan-tindakannya.
5. Pembatasan hak-hak politik rakyat, seperti hak berserikat, berkumpul, dan berpendapat.
6. Pemerintahan campur tangan terhadap kekuasaan kehakiman, sehingga kekuasaan kehakiman tidak merdeka.
7. Pembentukan lembaga-lembaga yang tidak terdapat dalam konstitusi, yaitu kopkamtib yang kemudian menjadi Bakorstanas.
8. Terjadi Korupsi Kolusi Napolisme (KKN) yang luar biasa parahnya sehingga bisa merusak segala aspek kehidupan, dan berakibat pada terjadinya krisis multimensi.
No comments:
Post a Comment