Penyimpangan pada masa Reformasi
-
Belum
terlaksananya kebijakan pemerintahan Habibie karena pembuatan
perudang-undangan menunjukkan secara tergesa-gesa, sekalipun perekonomian
menunjukkan perbaikan dibandingkan saat jatuhnya Presiden Soeharto.
- Kasus
pembubaran Departemen Sosial dan Departemen Penerangan pada masa
pemerintahan Abdurachman Wahid, menciptakan persoalan baru bagi rakyat
banyak karena tidak dipikirkan penggantinya.
- Ada
perseteruan antara DPR dan Presiden Abdurachman Wahid yang berlanjut
dengan Memorandum I dan II berkaitan dengan kasus “Brunei Gate” dan “Bulog
Gate”, kemudian MPR memberhentikan presiden karena dianggap melanggar
haluan negara.
- Baik
pada masa pemerintahan Abdurachman Wahid maupun Megawati, belum
terselesaikan masalah konflik Aceh, Maluku, Papua, Kalimantan Tengah dan
ancaman disintegrasi lainnya.
- Belum
maksimalnya penyelesaian masalah pemberantasan KKN, kasus-kasus
pelanggaran HAM, terorisme, reformasi birokrasi, pengangguran, pemulihan
investasi, kredibilitas aparatur negara, utang domestik, kesehatan dan
pendidikan serta kerukunan beragama
Orde Baru sebagai pemerintahan yang berniat mengoreksi penyelewenangan
di masa Orde Lama dengan menumbuhkan kekuatan bangsa, stabilitas nasional dan
proses pembangunan, bertekad melaksanakan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.
Bentuk koreksi terhadap Orde Lama, yaitu melalui:
a.
Sidang
MPRS yang menghasilkan:
1)
Pengukuhan Supersemar melalui Tap.
No. IX/MPRS/1966. (Lahirnya Supersemar dianggap sebagai lahirnya pemerintahan
Orde Baru).
2)
Penegasan kembali landasan Kebijakan
Politik Luar Negeri Republik Indonesia (TAP No. XII/MPRS/1966).
3)
Pembaharuan Kebijakan Landasan
Bidang Ekonomi, Keuangan, dan Pembangunan (TAP No. XXIII/MPRS/1966).
4)
Pembubaran PKI dan ormas-ormasnya
(TAP No. XXV/MPRS/1966).
5) Pencabutan Kekuasaan Pemerintahan Negara dari Presiden
Soekarno (TAP No. XXXIII/MPRS/1966).
6)
Pengangkatan Soeharto sebagai
Presiden sampai dengan terpilihnya Presiden oleh MPR hasil pemilihan umum (TAP
No. XLIV/MPRS/1968).
b.
Pembentukan
undang-undang oleh Pemerintah bersama DPR terdiri dari:
1)
UU No. 3 Tahun 1967 tentang DPA yang
diubah dengan UU No. 4 Tahun 1978.
2)
UU No. 15 Tahun 1969 tentang Pemilu.
3)
UU No. 16 Tahun 1969 tentang Susunan
dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD.
4)
UU No. 14 Tahun 1970 tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, dan UU No. 14 Tahun 1985 tentang
MA.
5)
UU No. 5 Tahun 1973 tentang Susunan
dan Kedudukan BPK.
Pembahasan rancangan undang-undang tentang pemilu yang memutuskan 12 persetujuan, yaitu:
1)
Jumlah anggota DPR tidak boleh
dibesar-besarkan.
2)
Ada perimbangan antara wakil dari
Pulau Jawa dan luar Jawa.
3)
Diperhatikannya faktor jumlah
penduduk.
4)
Ada anggota yang diangkat dan yang
dipilih.
5)
Setiap kabupaten dijamin satu wakil.
6)
Persyaratan tempat tinggal calon
harus dihapuskan.
7)
Yang diangkat adalah wakil dari ABRI
dan sebagian sipil.
8)
Jumlah anggota MPR yang diangkat
sepertiga dari seluruh anggota MPR.
9)
Jumlah anggota DPR adalah 460
terdiri dari 360 yang dipilih dan 100 yang diangkat.
10)
Sistem pemilu adalah perwakilan
berimbang sederhana.
11)
Sistem pencalonan adalah stelsel
daftar.
12)
Daerah pemilihan adalah Daerah
Tingkat I.
Di
samping koreksi tersebut pemerintahan Orde Baru telah melakukan berbagai
penyimpangan, antara lain:
a.
Dalam
praktek pemilihan umum, terjadi pelanggaran misalnya:
1)
Terpengaruhnya pilihan rakyat oleh
campur tangan birokrasi.
2)
Panitia pemilu tidak independen.
3)
Kompetisi antarkontestan tidak
leluasa.
4)
Penghitungan suara tidak jujur.
5)
Kampanye terhambat oleh aparat
keamanan/perizinan.
6)
TPS dibuat di kantor-kantor.
7)
Pemungutan suara dilaksanakan pada
hari kerja.
8)
Pemilih pendukung Golkar diberi
formulir A-B, 5 sampai 10 lembar seorang.
b.
Di
bidang politik, antara lain:
1)
Ditetapkannya calon resmi partai
politik dan Golkar dari keluarga presiden atau yang terlibat dengan bisnis
keluarga presiden, dan calon anggota DPR/MPR yang monoloyalitas terhadap
presiden (lahirnya budaya paternalisti /kebapakan dan feodal gaya baru).
2)
Tidak berfungsinya kontrol dari
lembaga kenegaraan politik dan sosial, karena didominasi kekuasaan
presiden/eksekutif yang tertutup sehingga memicu budaya korupsi kolusi dan
nepotisme.
3)
Golkar secara terbuka melakukan
kegiatan politik sampai ke desa-desa, sedangkan parpol hanya sampai kabupaten.
4)
Ormas hanya diperbolehkan
berafiliasi kepada Golkar.
5)
Berlakunya demokrasi terpimpin
konstitusional (Eep Saefulloh Fatah, 1997: 26).
c.
Di
bidang hukum, antara lain:
1)
Belum memadainya perundang-undangan
tentang batasan kekuasaan presiden dan adanya banyak penafsiran terhadap
pasal-pasal UUD 1945.
2)
Tidak tegaknya supremasi hukum
karena penegak hukum tidak konsisten, adanya mafia peradilan, dan banyaknya
praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme. Hal ini tidak menjamin rasa adil,
pengayoman dan kepastian hukum bagi masyarakat.
3) Ada penyimpangan sekurang-kurangnya 79 Kepres (1993-1998)
yang dijadikan alat kekuasaan sehingga penyelewengan terlindungi secara legal
dan berlangsung lama (hasil kajian hukum masyarakat transparansi Indonesia).
d.
Di
bidang ekonomi, antara lain:
1)
Perekonomian nasional sebagaimana
diamanatkan pasal 33 UUD 1945 tidak terpenuhi, karena munculnya pola monopoli
terpuruk dan tidak bersaing. Akses ekonomi kerakyatan sangat minim.
2)
Keberhasilan pembangunan yang tidak
merata menimbulkan kesenjangan antara yang kaya dan miskin serta merebaknya
KKN.
3) Bercampurnya institusi negara dan swasta, misalnya
bercampurnya jabatan publik, perusahaan serta yayasan sehingga pemegang
kekuasaan dan keuntungan menjadi pemenang serta mengambil keuntungan secara
tidak adil. Sebagai contoh kasus-kasus Kepres Mobil Nasional, Institusi Bulog,
subordinasi Bank Indonesia, dan proteksi Chandra Asri.
4)
Adanya korporatisme yang bersifat
sentralis, ditandai oleh urbanisasi besar-besaran dari desa ke kota atau dari
daerah ke pusat. Korporatisme ialah sistem kenegaraan dimana pemerintah dan
swasta saling berhubungan secara tertutup satu sama lain, yang ciri-cirinya
antara lain keuntungan ekonomi hanya dinikmati oleh segelintir pelaku ekonomi
yang dekat dengan kekuasaan, dan adanya kolusi antara kelompok kepentingan
ekonomi serta kelompok kepentingan politik.
5)
Perkembangan utang luar negeri dari
tahun ke tahun cenderung meningkat. Menurut Dikdik J. Rachbini (2001:17-22)
pada tahun 1980- 1999 mencapai 129 miliar dolar AS, yang berarti aliran modal
ke luar negeri pada masa ini mencapai angka lebih dari seribu triliun.
Sementara kebijakan utang luar negeri tercemar oleh kelompok pemburu keuntungan
yang berkolusi dengan pemegang kekuasaan. Kebijakan pemerintah dianggap benar,
sedangkan kritik dan partisipasi masyarakat lemah. Kombinasi utang luar negeri
pemerintah dengan swasta (yang memiliki utang luar negeri berlebihan) menambah
berat beban perekonomian negara kita.
6) Tahun 1997 Indonesia dilanda krisis ekonomi yang ditandai naiknya harga kebutuhan pokok dan menurunnya daya beli masyarakat. Krisis ini melahirkan krisis politik, yaitu ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintahan Soeharto. Krisis ekonomi yang berkepanjangan, besarnya utang yang harus dipikul oleh negara, meningkatnya pengangguran, kemiskinan dan kesenjangan sosial, menumbuhkan krisis di berbagai bidang kehidupan. Hal ini mendorong timbulnya gerakan masyarakat terhadap pemerintah, yang dipelopori oleh para mahasiswa dan dosen. Demonstrasi besar-besaran pada tanggal 20 Mei 1998 merupakan puncak keruntuhan Orde Baru, yang diakhiri dengan penyerahan kekuasaan dari Presiden Soeharto kepada B.J. Habibie pada tanggal 21 Mei 1998.
3. Berbagai Penyimpangan Pada Era Global (Reformasi)
Berbagai penyimpangan telah terjadi
selama era Reformasi, antara lain:
a. Belum terlaksananya kebijakan pemerintahan Habibie karena
pembuatan perudang-undangan menunjukkan secara tergesa-gesa, sekalipun
perekonomian menunjukkan perbaikan dibandingkan saat jatuhnya Presiden
Soeharto.
b. Kasus pembubaran Departemen Sosial dan Departemen Penerangan
pada masa pemerintahan Abdurachman Wahid, menciptakan persoalan baru bagi
rakyat banyak karena tidak dipikirkan penggantinya.
c. Ada perseteruan antara DPR dan Presiden Abdurachman Wahid
yang berlanjut dengan Memorandum I dan II berkaitan dengan kasus “Brunei Gate”
dan “Bulog Gate”, kemudian MPR memberhentikan presiden karena dianggap
melanggar haluan negara.
d. Baik pada masa pemerintahan Abdurachman Wahid maupun
Megawati, belum terselesaikan masalah konflik Aceh, Maluku, Papua, Kalimantan
Tengah dan ancaman disintegrasi lainnya.
e.
Belum maksimalnya penyelesaian
masalah pemberantasan KKN, kasus-kasus pelanggaran HAM, terorisme, reformasi
birokrasi, pengangguran, pemulihan investasi, kredibilitas aparatur negara,
utang domestik, kesehatan dan pendidikan serta kerukunan beragama.
Tidak ada memang yang sempurna di
dunia ini begitupun sistem pemerintahan , namun kita harus tetap memiliki
semangat membangun dan memperbaiki negara ini dan meminimalisir segala
penyimpangan ....
No comments:
Post a Comment